Segala Puji wahai yang membentangkan alam ini tanpa tiang yang menopang, Segala Puji wahai yang mengatur kehidupan seluruh alam, Segala Puji wahai yang menggenggam kehidupan dan kematian, Segala Puji wahai yang memiliki kenikmatan dan kesedihan, Segala Puji wahai yang berkuasa dari segala kekuasaan, Segala Puji wahai yang tiada berawal dan tiada berakhir, Segala Puji wahai yang menghidupkan mahluk terindah dari yang terindah, Segala Puji wahai yang mengizinkan kami hidup didunia ini, Segala Puji wahai Alloh SWT.


Salam Sejahtera wahai yang memimpin manusia didunia dan diakhirat, Salam Sejahtera wahai yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, Salam Sejahtera wahai yang menjadi petunjuk bagi seluruh mahluk diseluruh alam, Salam Sejahtera wahai yang memiliki syafa’at, Salam Sejahtera wahai mahluk yang paling lembut budi pekertinya serta tutur bahasanya, Salam Sejahtera wahai mahluk yang paling indah dari yang terindah, Salam Sejahtera wahai yang mengajarkan Qur’an dan Sunnah, Salam Sejahtera wahai yang memiliki nama Assulthon, Salam Sejahtera wahai Muhammad SAW.


Salam Sejahtera wahai yang telah membimbing kami dalam mengenali akan Samudera Ilmu yang tidak akan pernah ada batasnya, Salam Sejahtera wahai Guru Mulia kami Habib Umar Bin Hafidh, Habib Munzir Bin Fuad Al Musawa, Habib Hasan Bin Ja’far Assegaf, Habib Muhammad Syahab, Habib ALwi Bin Abdurahman Assegaf, Habib Syafiq bin Syekh Abu Bakar bin Salim, dan Para Habaib Lainnya.


Salam Sejahtera untuk kawan-kawan kami di facebook, friendster, blogger, para teknisi ponsel yang berada di semua forum reparasi ponsel, para teknisi computer dan para web master dan para pelaku bisnis lainnya serta tidak tertinggal rekan-rekan kami di seluruh pondok pesantren yang ada di Indonesia.

Penjelasan Hadits Hasan

Definisi

a. Secara bahasa (etimologi)
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan.

b. Secara Istilah (teriminologi)
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.

Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:

1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim as-Sunan:I/11)

2. Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)

3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li Dzâtih (Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)

Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya. Ini adalah definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththâby banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya beliau mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya adalah hadits lemah (Dla’îf) yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.”

Definisi Terpilih

Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”

Hukumnya

Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.” (Tadrîb ar-Râwy:I/160)

Contohnya

Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)

Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.

Tingkatan-Tingakatannya

Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.

Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.

Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan semisal mereka.

Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang
shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”

1. Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”

2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzûdz atau ‘Illat.

Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut.

Akan tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz.

Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama
Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh”

Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah:

1. Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”

2. Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”

Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.

Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh
Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”

Di dalam kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy, Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan Munkar.

Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab ini ( “Mashâbîh as-Sunnah” ) mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”

Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya
Dapat Ditemukan Hadits Hasan

Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah:

1. Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya.
Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.

2. Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.

3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.

(SUMBER: Kitab Taysîr Musthalah al-Hadîts karya Dr. Mahmûd ath-Thahhân, h. 45-50)

Keutamaan Do'a Seorang Muslim

Keutamaan Do'a

1. Do'a adalah otaknya (sumsum / inti nya) ibadah. (HR. Tirmidzi)

2. Do'a adalah senjata seorang mukmin dan tiang (pilar) agama serta cahaya langit dan bumi. (HR. Abu Ya'la)

3. Akan muncul dalam umat ini suatu kaum yang melampaui batas kewajaran dalam berthaharah dan berdoa. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Penjelasan:
Yakni berdoa atau mohon kepada Allah untuk hal-hal yang tidak mungkin dikabulkan karena berlebih-lebihan atau untuk sesuatu yang tidak halal (haram).

4. Do'a seorang muslim untuk kawannya yang tidak hadir dikabulkan Allah. (HR. Ahmad)

5. Jangan mendo'akan keburukan (mengutuk) dirimu atau anak-anakmu atau pelayan-pelayanmu (karyawan-karyawanmu) atau harta-bendamu, (karena khawatir) saat itu cocok dikabulkan segala permohonan dan terkabul pula do'amu. (Ibnu Khuzaimah)

6. Rasulullah Saw ditanya, "Pada waktu apa do'a (manusia) lebih didengar (oleh Allah)?" Lalu Rasulullah Saw menjawab, "Pada tengah malam dan pada akhir tiap shalat fardhu (sebelum salam)." (Mashabih Assunnah)

7. Do'a yang diucapkan antara azan dan iqomat tidak ditolak (oleh Allah). (HR. Ahmad)

8. Bermohonlah kepada Robbmu di saat kamu senang (bahagia). Sesungguhnya Allah berfirman (hadits Qudsi): "Barangsiapa berdo'a (memohon) kepada-Ku di waktu dia senang (bahagia) maka Aku akan mengabulkan do'anya di waktu dia dalam kesulitan, dan barangsiapa memohon maka Aku kabulkan dan barangsiapa rendah diri kepada-Ku maka aku angkat derajatnya, dan barangsiapa mohon kepada-Ku dengan rendah diri maka Aku merahmatinya dan barangsiapa mohon pengampunanKu maka Aku ampuni dosa-dosanya." (Ar-Rabii')


9. Ada tiga orang yang tidak ditolak do'a mereka: (1) Orang yang berpuasa sampai dia berbuka; (2) Seorang penguasa yang adil; (3) Dan do'a orang yang dizalimi (teraniaya). Do'a mereka diangkat oleh Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Allah bertitah, "Demi keperkasaanKu, Aku akan memenangkanmu (menolongmu) meskipun tidak segera." (HR. Tirmidzi)

10. Barangsiapa tidak (pernah) berdo'a kepada Allah maka Allah murka kepadanya. (HR. Ahmad)

11. Apabila kamu berdo'a janganlah berkata, "Ya Allah, ampunilah aku kalau Engkau menghendaki, rahmatilah aku kalau Engkau menghendaki dan berilah aku rezeki kalau Engkau menghendaki." Hendaklah kamu bermohon dengan kesungguhan hati sebab Allah berbuat segala apa yang dikehendakiNya dan tidak ada paksaan terhadap-Nya. (HR. Bukhari dan Muslim)

12. Hati manusia adalah kandungan rahasia dan sebagian lebih mampu merahasiakan dari yang lain. Bila kamu mohon sesuatu kepada Allah 'Azza wajalla maka mohonlah dengan penuh keyakinan bahwa do'amu akan terkabul. Allah tidak akan mengabulkan do'a orang yang hatinya lalai dan lengah. (HR. Ahmad)

13. Apabila tersisa sepertiga dari malam hari Allah 'Azza wajalla turun ke langit bumi dan berfirman : "Adakah orang yang berdo'a kepadaKu akan Kukabulkan? Adakah orang yang beristighfar kepada-Ku akan Kuampuni dosa- dosanya? Adakah orang yang mohon rezeki kepada-Ku akan Kuberinya rezeki? Adakah orang yang mohon dibebaskan dari kesulitan yang dialaminya akan Kuatasi kesulitan-kesulitannya?" Yang demikian (berlaku) sampai tiba waktu fajar (subuh). (HR. Ahmad)

14. Tidak ada yang lebih utama (mulia) di sisi Allah daripada do'a. (HR. Ahmad)

15. Tiga macam do'a dikabulkan tanpa diragukan lagi, yaitu doa orang yang dizalimi, doa kedua orang tua, dan do'a seorang musafir (yang berpergian untuk maksud dan tujuan baik). (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

16. Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Murah hati. Allah malu bila ada hambaNya yang menengadahkan tangan (memohon kepada-Nya) lalu dibiarkannya kosong dan kecewa. (HR. Al Hakim)

17. Tiada seorang berdo'a kepada Allah dengan suatu do'a, kecuali dikabulkanNya, dan dia memperoleh salah satu dari tiga hal, yaitu dipercepat terkabulnya baginya di dunia, disimpan (ditabung) untuknya sampai di akhirat, atau diganti dengan mencegahnya dari musibah (bencana) yang serupa. (HR. Ath-Thabrani)

18. Barangsiapa mendo'akan keburukan terhadap orang yang menzaliminya maka dia telah memperoleh kemenangan. (HR. Tirmidzi dan Asysyihaab)

19. Ambillah kesempatan berdo'a ketika hati sedang lemah-lembut karena itu adalah rahmat. (HR.Ad-Dailami)

20. Ali Ra berkata, "Rasulullah Saw lewat ketika aku sedang mengucapkan do'a : "Ya Allah, rahmatilah aku". Lalu beliau menepuk pundakku seraya berkata, "Berdoalah juga untuk umum (kaum muslimin) dan jangan khusus untuk pribadi. Sesungguhnya perbedaan antara doa untuk umum dan khusus adalah seperti bedanya langit dan bumi." (HR. Ad-Dailami)

21. Berlindunglah kepada Allah dari kesengsaraan (akibat) bencana dan dari kesengsaraan hidup yang bersinambungan (silih berganti dan terus-menerus) dan suratan takdir yang buruk dan dari cemoohan lawan-lawan. (HR. Muslim)

22. Tidak ada manfaatnya bersikap siaga dan berhati-hati menghadapi takdir, akan tetapi do'a bermanfaat bagi apa yang diturunkan dan bagi apa yang tidak diturunkan. Oleh karena itu hendaklah kamu berdoa, wahai hamba-hamba Allah. (HR. Ath-Thabrani)

23. Barangsiapa ingin agar do'anya terkabul dan kesulitan-kesulitannya teratasi hendaklah dia menolong orang yang dalam kesempitan. (HR. Ahmad)

Sebaik-baiknya Shadaqah

Zakat dan Sodaqoh

1. Bersodaqoh pahalanya sepuluh, memberi hutang (tanpa bunga) pahalanya delapan belas, menghubungkan diri dengan kawan-kawan pahalanya dua puluh dan silaturrahmi (dengan keluarga) pahalanya dua puluh empat. (HR. Al Hakim)


2. Yang dapat menolak takdir ialah doa dan yang dapat memperpanjang umur yakni kebajikan (amal bakti). (HR. Ath-Thahawi)

3. Apabila anak Adam wafat putuslah amalnya kecuali tiga hal yaitu sodaqoh jariyah, pengajaran dan penyebaran ilmu yang dimanfaatkannya untuk orang lain, dan anak (baik laki-laki maupun perempuan) yang mendoakannya. (HR. Muslim)

4. Allah Tabaraka wata'ala berfirman (di dalam hadits Qudsi): "Hai anak Adam, infaklah (nafkahkanlah hartamu), niscaya Aku memberikan nafkah kepadamu." (HR. Muslim)

5. Orang yang mengusahakan bantuan (pertolongan) bagi janda dan orang miskin ibarat berjihad di jalan Allah dan ibarat orang shalat malam. Ia tidak merasa lelah dan ia juga ibarat orang berpuasa yang tidak pernah berbuka. (HR. Bukhari)

6. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, "Sodaqoh yang bagaimana yang paling besar pahalanya?" Nabi Saw menjawab, "Saat kamu bersodaqoh hendaklah kamu sehat dan dalam kondisi pelit (mengekang) dan saat kamu takut melarat tetapi mengharap kaya. Jangan ditunda sehingga rohmu di tenggorokan baru kamu berkata untuk Fulan sekian dan untuk Fulan sekian." (HR. Bukhari)

7. Barangsiapa ingin doanya terkabul dan dibebaskan dari kesulitannya hendaklah dia mengatasi (menyelesaikan) kesulitan orang lain. (HR. Ahmad)

8. Jauhkan dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan (sodaqoh) sebutir kurma. (Mutafaq'alaih)


9. Turunkanlah (datangkanlah) rezekimu (dari Allah) dengan mengeluarkan sodaqoh. (HR. Al-Baihaqi)

10. Bentengilah hartamu dengan zakat, obati orang-orang sakit (dari kalanganmu) dengan bersodaqoh dan persiapkan doa untuk menghadapi datangnya bencana. (HR. Ath-Thabrani)

11. Tiada seorang bersodaqoh dengan baik kecuali Allah memelihara kelangsungan warisannya. (HR. Ahmad)

12. Naungan bagi seorang mukmin pada hari kiamat adalah sodaqohnya. (HR. Ahmad)

13. Tiap muslim wajib bersodaqoh. Para sahabat bertanya, "Bagaimana kalau dia tidak memiliki sesuatu?" Nabi Saw menjawab, "Bekerja dengan ketrampilan tangannya untuk kemanfaatan bagi dirinya lalu bersodaqoh." Mereka bertanya lagi. Bagaimana kalau dia tidak mampu?" Nabi menjawab: "Menolong orang yang membutuhkan yang sedang teraniaya" Mereka bertanya: "Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?" Nabi menjawab: "Menyuruh berbuat ma'ruf." Mereka bertanya: "Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?" Nabi Saw menjawab, "Mencegah diri dari berbuat kejahatan itulah sodaqoh." (HR. Bukhari dan Muslim)


14. Apa yang kamu nafkahkan dengan tujuan keridhoan Allah akan diberi pahala walaupun hanya sesuap makanan ke mulut isterimu. (HR. Bukhari)

15. Sodaqoh paling afdhol ialah yang diberikan kepada keluarga dekat yang bersikap memusuhi. (HR. Ath-Thabrani dan Abu Dawud)

16. Satu dirham memacu dan mendahului seratus ribu dirham. Para sahabat bertanya, "Bagaimana itu?" Nabi Saw menjawab, "Seorang memiliki (hanya) dua dirham. Dia mengambil satu dirham dan bersodaqoh dengannya, dan seorang lagi memiliki harta-benda yang banyak, dia mengambil seratus ribu dirham untuk disodaqohkannya. (HR. An-Nasaa'i)

17. Orang yang membatalkan pemberian (atau meminta kembali) sodaqohnya seperti anjing yang makan kembali muntahannya. (HR. Bukhari)


18. Barangsiapa diberi Allah harta dan tidak menunaikan zakatnya kelak pada hari kiamat dia akan dibayang-bayangi dengan seekor ular bermata satu di tengah dan punya dua lidah yang melilitnya. Ular itu mencengkeram kedua rahangnya seraya berkata, "Aku hartamu, aku pusaka simpananmu." Kemudian nabi Saw membaca firman Allah surat Ali Imran ayat 180: "Dan janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi." (HR. Bukhari)

19. Tiada suatu kaum menolak mengeluarkan zakat melainkan Allah menimpa mereka dengan paceklik (kemarau panjang dan kegagalan panen). (HR. Ath-Thabrani)

20. Barangsiapa memperoleh keuntungan harta (maka) tidak wajib zakat sampai tibanya perputaran tahun bagi pemiliknya. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Penjelasan:
Perhitungan perputaran tahun (haul) untuk menunaikan zakat ialah dengan tahun Hijriyah.

21. Tentang sodaqoh yang seakan-akan berupa hadiah, Rasulullah Saw bersabda: "Baginya sodaqoh dan bagi kami itu adalah hadiah." (HR. Bukhari)

22. Allah Ta'ala mengharamkan bagiku dan bagi keluarga rumah tanggaku untuk menerima sodaqoh. (HR. Ibnu Saad)

Penjelasan:
Nabi Saw menolak menerima sodaqoh tetapi mau menerima hadiah.

23. Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lalu dia belanjakan pada sasaran yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan lalu dia melaksanakan dan mengajarkannya. (HR. Bukhari)

24. Allah mengkhususkan pemberian kenikmatanNya kepada kaum-kaum tertentu untuk kemaslahatan umat manusia. Apabila mereka membelanjakannya (menggunakannya) untuk kepentingan manusia maka Allah akan melestarikannya namun bila tidak, maka Allah akan mencabut kenikmatan itu dan menyerahkannya kepada orang lain. (HR. Ath-Thabrani dan Abu Dawud)


25. Abu Dzarr Ra berkata bahwa beberapa sahabat Rasulullah Saw berkata, "Ya Rasulullah, orang-orang yang banyak hartanya memperoleh lebih banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat dan berpuasa sebagaimana kami berpuasa dan mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka." Nabi Saw lalu berkata, "Bukankah Allah telah memberimu apa yang dapat kamu sedekahkan? Tiap-tiap ucapan tasbih adalah sodaqoh, takbir sodaqoh, tahmid sodaqoh, tahlil sodaqoh, amar makruf sodaqoh, nahi mungkar sodaqoh, bersenggama dengan isteri pun sodaqoh." Para sahabat lalu bertanya, "Apakah melampiaskan syahwat mendapat pahala?" Nabi menjawab, "Tidakkah kamu mengerti bahwa kalau dilampiaskannya di tempat yang haram bukankah itu berdosa? Begitu pula kalau syahwat diletakkan di tempat halal, maka dia memperoleh pahala. (HR. Muslim)

26. Tiap-tiap amalan makruf (kebajikan) adalah sodaqoh. Sesungguhnya di antara amalan makruf ialah berjumpa kawan dengan wajah ceria (senyum) dan mengurangi isi embermu untuk diisikan ke mangkuk kawanmu. (HR. Ahmad)

Wanita Mulia atau Celaka ???

1. setiap muslim dan muslimah mempunyai derajat iman yg berbeda beda, semakin rendah imannya maka semakin jauh ia dari mematuhi syariah, namun bisa saja seseorang mempunyai keimanan yg tinggi namun ia terjebak dg ujian berat pula hingga sulit baginya untuk mengamalkan hukum syariah.
maka kita tidak bisa menghukumi wanita itu jahat misalnya, karena memang itulah kadar keimanannya, dan ia masih mempunyai iman untuk memakai jilbab dan menjaga rambutnya untuk tidak terlihat oleh masyarakat, namun ketika sampai di kantornya ia membukanya karena barangkali majikannya tak suka dg jilbab, maka itulah batas keimananya, untuk saudari kita yg seperti ini layaknya dihimbau dg lembut oleh teman2nya untuk diajak ke majelis2 taklim atau pergaulan muslimah yg telah berjilbab rapi, niscaya ia akan terbawa untuk tdk lagi menggunakan pakaian ketat dan jilbab ringkas, apalagi membukanya ditempat kerja, atau paling tidak ia merasa bahwa perbuatannya itu masih perlu diperbaiki lebih lagi.

2. perbuatannya tidak menjadikan hasil pekerjaannya menjadi penghasilan yg haram, terkecuali bila tempat ia bekerja melarang memakai jilbab. kiasnya sama seperti orang yg bekerja disuatu perusahaan lalu tidak melakukan shalat, maka nafkahnya tetap tidak menjadi haram kecuali bila perusahaan itu melarang ia shalat atau membuat ia terlalu sibuk hingga tak bisa shalat.
namun perbuatannya dg membuka jilbab ditempat pekerjaannya adalah dosa antara dirinya dengan Allah swt tanpa mempengaruhi hukum nafkahnya kecuali bila tempat pekerjaannnya melarangnya.

banyak sekali saudara saudara kita muslimin dan muslimat yg masih mementingkan nafkahnya daripada agamanya, bisa dimaklumi bila kebutuhan nafkahnya adalah kebutuhan primer, namun yg menyedihkan adalah bila mreeka meninggalkan syariah hanya demi nafkah sekunder atau tersier, hanya demi bermewah mewahan, dan untuk itu mereka menukarnya dg Keridhoan Allah swt,

namun kita masih bersyukur karena mereka masih dalam Iman dan islam, tidak mengakui ada tuhan lain selain Allah, dan tetap mengakui Nabi Muhammad saw utusan Allah, tanggungjawab kita untuk menolong mereka

3. tentunya wanita muslim lebih mulia dari wanita non muslim, wanita yg sering buka tutup jilbab masih lebih baik daripada yg tak mau sama sekali menyentuh jilbab, sebagaiman pria yg yg sesekali shalat subuh pada waktunya dg pria yg sama sekali tak mau shalat subuh, jauh berbeda.


4. sabda Nabi saw : "sungguh setiap amal tergantung pad niatnya, dan seseorang dibalas dg kadar apa apa yg ia niatkan" (shahih Bukhari).
kalau niatnya bukan Lillah, maka ia tak mendapatkan pahala apa apa, maka dimata Allah orang yg tak berjilbab karena belum mampu, misalnya dilarang orang tuanya atau larangan larangan lainnya, jauh lebih mulia daripada disisi Allah daripada wanita yg menggunakan jilbab bukan karena Allah.
kita berharap wanita yg sudah berjilbab ini dan belum berniat mulia semofa dalam suatu kejap Allah berpijar padanya dg sebutir cahaya hidayah hingga berubahlah niatnya menjadi karena Allah swt.

dan kita berharap agar mereka yg tertindas keadaannya hingga belum bisa memakai jilbab agar dibangkitkan dari kelemahan dan disingkirkan dari rintangannya dan diberi kekuatan Iman.

sebab keduanya memiliki kelemahan iman, semoga Allah menguatkan iman kita pula, amiin

1. Hijab secara bahasa : adalah penutup/ penghalang/ pembatas
Secara Syari?ah : penutup aurat berupa kain atau benda apapun yg menghalangi terlihatnya warna kulit (tidak transparan seperti plastik, kaca dlsb) bagi pria menurut Madzhab Syafi?I adalah antara Lutut dan pusar, bagi budak adalah dua kemaluannya,

dan bagi wanita adalah seluruh tubuhnya dalam madzhab syafi?I., dan pendapat lain mengatakan seluruh tubuhnya kecuali wajah. Dan bagi kita untuk sedikit demi sedikit merangkak pada syari?ah, kalau ia wanita yg biasa membuka auratnya, maka baiknya ia memulai dengan menggunakan pakaian panjang, atau celana panjang, lalu mulai mengenakan jilbab ringkas, lalu berjalan waktu dengan kemuliaan yg ada pd Imannya untuk menggunakan jilbab yg lebih menutup seluruh rambut dan lehernya, lalu kemudian ia meningkat kpd hal yg lebih mulia, yaitu meninggalkan pakaian2 ketatnya menuju kepada kesempurnaan puncak, yaitu sempurnanya Syariah atas mereka, yaitu menutup seluruh tubuhnya dan menggunakan pakaian yg longgar

Ada hadits, bahwa Rasul saw bertanya pada para sahabat, : ?wanita manakah yg paling sempurna??. Maka semua sahabat terdiam, dan saat itu diantara mereka adalah Sayyidina Ali kw, yg kemudian bertanya pd Istrinya (Fathimah Puteri Rasul saw), maka Fathimah Azzahra Radhiyallah ?anha (beliau digelari Sayyidatunnisa?il?alamin : pemimpin wanita seluruh alam) menjawab : ?wanita yg tak melihat lelaki dan tak terlihat oleh kaum lelaki?. Maka ketika ucapan ini disampaikan pd Rasul saw maka Rasul saw berkata : ?tepat..!?.

Dalil atas hijab ini sudah jelas dalam Alqur?an pun dijelaskan dengan jelas, pada surat Annuur ayat 31 : ?KATAKANLAH PADA WANITA WANITA BERIMAN (mukminat : orang beriman dari kaum wanita) AGAR MENUNDUKKAN PANDANGANNYA DARI MELIHAT KAUM LELAKI DAN MENJAGA KEMALUANNYA DARI HAL YG DIHARAMKAN, DAN JANGAN PULA MEMPERLIHATKAN PERHIASANNYA (kalung dlsb), KECUALI YG TERLIHAT DIPAKAIANNYA, DAN AGAR MENUTUPKAN CADARNYA DIATAS WAJAHNYA DAN DADA SERTA LEHERNYA, DAN JANGANLAH MEMPERLIHATKAN PERHIASANNYA (dan membuka jilbabnya) KECUALI PADA SUAMINYA, ATAU AYAH MEREKA, ATAU AYAH DARI SUAMI MEREKA (mertua), ATAU ANAK LELAKI MEREKA (anak kandung atau anak suson), ATAU ANAK SUAMI MEREKA (anak tiri mereka), ATAU SAUDARA SAUDARA MEREKA (adik/kakak secara keturunan dan suson), ATAU ANAK SAUDARA MEREKA (keponakan), ATAU WANITA LAINNYA (wanita muslimah lainnya, dan aurat harus tertutup pula bila berhadapan dg wanita non muslim), ATAU BUDAK WANITA MEREKA?..hingga akhir ayat? (Annur 31).
(rujuk Tafsir Ibn Abbas surat Annuur)

Namun pendapat yg kedua berpendapat bahwa hal ini (menutup seluruh tubuh dengan serapat2nya hingga tak terlihat oleh kaum lelaki) adalah hanya pd istri istri Rasul saw, namun pendapat pertama yg lebih Arjah (lebih kuat), demikian dalam madzhab syafi'i, namun ada perbedaan pd madzhab yg lain, wallahu a'lam

ada pula keringanan bagi wanita yg bekerja, untuk membuka wajahnya, demikian dalam kitab Syarh Baijuri Syarh Abi Syuja' alaa Madzhab Syafi;i, bab Ahkam Shalat.Maka jelaslah sudah bahwa kesimpulannya puncak kehormatan wanita adalah menutupi dirinya hingga tak terlihat oleh kaum lelaki. (wanita yg berjilbab dan berpakaian agak ketat, masih akan terlihat lekukan dan bagian tubuh yg menonjol di bagian dada dan belakangnya). Inilah puncak kesempurnaan wanita.

dan masih banyak lagi dari hal hal yg diperintahkan Allah yg mungkin belum mampu kita jalankan secara keseluruhan, seperti membicarakan aib orang lain misalnya, merupakan dosa besar, demikian pula mengumpat dll, namun ini semua tak akan kita mampu menghindarinya kecuali dg Tadriij (bertingkat tingkat dan selangkah demi selangkah). Dan setiap usaha untuk mencapai suatu perintah Allah, merupakan pahala, sebagaimana saya jelaskan diatas, maka wanita yg menyadari bahwa menutup seluruh tubuhnya adalah wajib, lalu ia mulai berusaha menutup auratnya sedikit demi sedikit, maka saat saat waktu berjalan itu ia tertulis sebagai wanita yg menuju kesempurnaan, contoh :
Dua orang wanita sama sama mengenakan pakaian ketat, kita sebutlah rani dan rena.
Rena memang sejak dewasa sudah asyik dg celana ketat, dan tak pernah perduli dg perintah Allah swt walaupun ia seorang muslim,
namun Rani pada awalnya adalah wanita yg suka memakai celana pendek didepan umum, namun ia kemudian mengetahui bahwa setiap wanita harus menutup auratnya, rani pun menyesali dosanya, ia membatin?? aduh.. aku belum mampu tuh kalau harus pakai tutupan lengkap.., tapi kalau aku gini ya aku dosa.. ah.. biar deh.. aku akan coba perlahan lahan, supaya ngga nyolok juga, dan aku bercita cita akan sampai pada kesempurnaan kaum wanita dan kehormatan tertinggi..?. maka ia membeli celana ketat untuk menggantikan celana pendeknya.. dan ia sudah melirik lirik jilbab ketat yg akan ia gunakan dalam waktu dekat, dan ia telah memesan pakaian daster longgar dengan warna yg indah walau ia masih ragu kapan akan mampu menggunakannya.
Wah? alangkah tingginya derajat Rani diatas Rena, bukankah sama sama menggunakan pakaian ketat?, yah.., namun sanubari yg menyimpan Niat mulia, berbeda dengan sanubari yg kosong dari Niat Mulia, sebagaimana Berlian dan Batu kali, sama sama berasal dari bebatuan dan namanya pun tetap batu, namun? jauh berbeda kehormatannya di mata orang, lalu bagaimana kalau kehormatannya jauh berbeda bukan dimata orang, tapi dimata Allah..?

Wanita menggunakan hijab karena menjalankan perintah yg Maha Menciptakannya dari ketiadaan, sebagaimana lelakipun diperintahkan menutupi auratnya, sebagaimana kita mematuhi aturan rt, rw, aturan lalu lintas, sabuk pengaman, helm dlsb, mungkin kita akan melanggar bila kita yakin akan bisa terhindar dari denda atau hukuman,
namun kita akan patuh dengan santai menggunakan helm dan atau sabuk pengaman atau mematuhi aturan lalu lintas, bila dengan setiap kepatuhan itu kita dibayar dengan kwitansi mendapatkan sebuah Rumah Istana yg Maha Megah dengan segala keindahan dan kemewahannya, dan kita takut pula melanggarnya karena pasti dicengkeram dalam siksaan penjara super kejam ribuan tahun?, bukankah demikian?, ya.. demikianlah orang orang yg berakal.
Dan bagaimana mereka yg menolaknya?, bukankah mereka orang yg merugi?,
Ya? mereka orang orang yg merugi.
Namun diatas itu semua, Allah tak akan memaksa lebih dari kemampuan kita, maka janganlah gusar dengan perintahnya, karena gusar dan penentangan akan membuka gerbang kemarahan Nya semakin membesar, namun tunduk dan pasreah lah pada Nya, mengadulah bahwa kita masih sangat lemah untuk mengamalkan beberapa perintahnya, wahai penduduk Bumi, jauh berbeda antara orang yg ketika diperintah Raja, lalu ia mengatakan pada Raja : ?aku tak mau..!!, aku menolak dan benci..!?, atau orang yg berkata pd Rajanya : ?maafkan kelemahanku.., aku tak mampu..kasihanilah kelemahanku..?.